Penulis : Samuel Awom ( Kepala Pemerintahan Adat Wilayah III Doberay)
Marga Amotey , Suku Mandobo Boven Digoel Melawan Perusahaan Sawit
pada tanggal tanggal 11-12 Oktober 2024 Marga Amotey, suku Mandobo, dari kampung Patriot, Distrik Arimop, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan melangsungkan rapat Adat guna menanggapi rencana pemerintah mengizinkan perusahaan Sawit bernama Papua Berkat Pangan beroperasi di wilayah Adat mereka. Berdasarkan data yang didapat oleh masyarakat Adat bahwa luasan konsesi yang diizinkan pemerintah kepada PT. Papua Berkat Pangan seluas 34.092,18 Ha yang meliputi Distrik Mandobo, Distrik Jair dan Distrik Arimop.
Ketua Marga Amotey, Aloiysius Amotey dalam rapat Adat bersama-sama dengan semua anggota marga Amotey dan sub-sub marga telah bersepakat untuk menolak kehadiran Perusahaan Sawit Papua Berkat Pangan di atas seluruh wilayah adat marga Amotey. Aloysisus Amotey mengatakan bahwa marganya di kampung patriot secara turun-temurun menjadikan Hak Ulayat mereka yang di dalamnya ada Hutan Alam sebagai sumber kehidupan utama dan juga sebagai Aset Marga” Dalam hutan ada Sagu sebagai sumber makanan utama kami, selain itu juga ada hewan yang kami selalu berburu, ada juga kayu dan tumbuh-tumbuhan lainya yang menjadi sumber penghidupan dan kehidupan marga Amotey secara turun-temurun” ungkap Aloiysius
Dalam kesempatan tersebut salah seorang Aktivis lingkungan yang juga Anak asli dari kampung Patriot Maria G Amotey mengatakan bahwa sebagai aktivis dan juga sebagai masyarakat Adat dirinya dengan tegas menolak kehadiran PT. Papua Berkat Pangan untuk beroperasi di wilayah tanah adat marga Amotey karena akan menyebabkan Deforestasi yang berakibat pada punahnya flora dan fauna endemik, pemanasan Global, Perubahan Iklim dan terganggunya Siklus Air” dengan hadirnya perkebunan kelapa Sawit dan juga rencana pembangunan Pabrik Pengelolahan Kelapa Sawit (PKS) akan sangat berpengaruh terhadap keseimbangan lingkungan dan merusak Ekologi”
Penolakan marga Amotey dari suku Mandobo menjadi perjuangan panjang masyarakat adat Papua melawan Investasi sawit hingga saat ini.
Wilayah Papua Target Ekspansi Sawit
Dengan luas kawasan hutan sekitar ± 32.757.048 hektar yang di dalamnya termasuk 1.256.153 hektar tanah yang telah dilepas untuk kepentingan perluasan perkebunan sawit, wilayah Papua menjadi salah satu wilayah menjadi target ekspansi secara massif dalam 2 dekade terakhir. Boven Digoel menjadi salah satu wilayah yang dipilih untuk memenuhi tujuan pembangunan perkebunan kelapa sawit negara, di mana Boven Digoel menjadi salah satu wilayah industri sawit Papua yang didominasi oleh perusahaan asing.
Perusahaan asal Korea Selatan, PT Korindo Group merupakan salah satu penguasa lahan terbesar di Boven Digoel. Sebuah video investigasi yang dirilis BBC pada November 2020 terhadap praktik pembukaan hutan yang dilakukan Korindo menguak adanya penggunaan metode pembakaran dalam proses pembukaan hutan.
Kondisi masyarakat adat dalam industri minyak sawit Boven Digoel dikaji berdasarkan konsep keamanan komunitas dan ekologi politik. Keamanan komunitas merupakan salah satu dari 7 pilar keamanan manusia yang dicetuskan oleh UNDP dalam Human Development Report 1994. Dokumen tersebut mendefinisikan keamanan komunitas sebagai perlindungan bagi komunitas dari ancaman kehancuran yang disebabkan oleh melemahnya pelestarian nilai-nilai dan hubungan tradisional serta kekerasan etnik .
Boven Digoel Sentra Kekuatan Modal Asing
Dari seluruh wilayah Indonesia, Pulau Papua memiliki kekayaan sumber daya alam yang dominan dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Dalam hal perkembangan kebun sawit perbedaan terletak di jumlah wilayah yang telah dimanfaatkan untuk perkebunan sawit. Perkembangan industri sawit dalam beberapa dekade terakhir sangat cepat di wilayah Indonesia Barat, terutama Pulau Sumatera dan Kalimantan yang telah dimanfaatkan sejak pertengahan Orde Baru. Seiring dengan perkembangan yang telah dilakukan terlebih dahulu di Sumatera dan Kalimantan, perusahaan kerap melaporkan bahwa memperoleh tanah di Pulau Sumatera dan Kalimantan sangatlah sulit di masa kini . Minimnya jumlah lahan yang tersedia menyebabkan para investor beralih ke wilayah Indonesia Timur untuk mendapatkan lahan yang luas, termasuk di wilayah Papua. Sebagai perbandingan, hingga tahun 2020 Sumatera memiliki total luas perkebunan sawit sebesar 7.907.810 ha, Kalimantan memiliki 5.990.789 ha, sedangkan Papua tahap awal memiliki 222.123 ha (Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura 2021).
Dipilihnya Boven Digoel sebagai target ekspansi perkebunan sawit dilatarbelakangi oleh kondisi iklim dan geografis Boven Digoel yang tepat untuk budidaya sawit. Tumbuhan sawit tumbuh dengan cepat dan produktif dalam wilayah yang memiliki karakteristik berikut: ketinggian 0-200 m dpl, suhu berkisar 28-32°C, curah hujan 1.700-2.500 mm per tahun, jumlah kering kurang dari 2 bulan, kemiringan tanah datar hingga berombak (Wigena dkk. 2009). Secara topografi, Boven Digoel didominasi oleh dataran yang berada pada ketinggian 25-100 m dpl, dengan 61,33% kemiringan tanah datar hingga agak datar dan berombak. Sedangkan, keadaan iklim Boven Digoel memiliki karakteristik rata-rata suhu 21,6°C hingga 36,9°C, dan curah hujan sekitar 458,82 mm setiap bulannya yang dapat mencapai 3400 mm per tahun (BPS Kabupaten Boven Digoel 2022). Tidak hanya itu, mayoritas daerah di Boven Digoel juga memiliki jenis tanah yang cocok untuk tanaman sawit yaitu tanah latosol. Karakteristik tanah dan curah hujan Boven Digoel dianggap tepat untuk menghasilkan tanaman-tanaman sawit yang produktif.
Menurut Dr. Estiko Tri Wiradyo, S.H., M.Si., Kepala Bidang Perencanaan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, terdapat 14 perusahaan perkebunan yang diberikan izin kawasan hutan negara di wilayah Boven Digoel yang telah dilepas oleh negara (izin pelepasan kawasan hutan) pada tahun 2004 hingga 2018 dengan total area mencapai lebih dari 400.000 hektar. Angka-angka tersebut menjadikan Boven Digoel kabupaten dengan area konsesi perkebunan sawit terbesar di wilayah Papua. Sebagian besar wilayah ini masih tertutup hutan alami dan belum dialihkan menjadi kebun sawit, dengan PT Tunas Sawa Erma sebagai perusahaan dengan wilayah kebun sawit terluas. Pada tahun 2018 pemerintah pusat (Jakarta) memberlakukan kebijakan moratorium yang menghentikan sementara pemberian izin pelepasan kawasan untuk perkebunan kelapa sawit.
Boven Digoel kerap mendapat sebutan “sentra kekuatan modal asing di Papua. Mayoritas perusahaan yang telah memiliki izin merupakan anak perusahaan dari 3 perusahaan besar dari negara-negara berbeda, yaitu Korea Selatan (Korindo), Selandia Baru (Digoel Agri Group) serta Uni Emirat Arab dan Yaman (Hayel Saeed Anam Group). Perusahaan asal Korea Selatan PT Korindo Group menjadi salah satu pemain utama sekaligus pelopor dalam pembukaan hutan di wilayah selatan Papua, termasuk Boven Digoel. Luas wilayah konsesi Korindo di Papua setara dengan 2 kalinya luas kota Seoul, menjadikan Korindo perusahaan dengan wilayah konsesi terbesar di Papua.
Hingga tahun 2021 Korindo membawahi 2 anak perusahaan di Boven Digoel yaitu PT Tunas Sawa Erma dan PT Berkat Cipta Abadi. PT Tunas Sawa Erma atau PT TSE menjadi perusahaan sawit pertama di Boven Digoel. Kini, ia memiliki 2 perkebunan yaitu Palm Oil Plantation (POP) A dan POP B. Sejak 1 April 2021 kedua anak perusahaan tersebut dikelola secara independen di bawah perusahaan baru yaitu PT TSE Group.
Kasus-kasus yang muncul ke permukaan menunjukkan adanya aktivitas yang kontradiktif dari komitmen yang dijunjung perusahaan yang mengancam aspek keberlanjutan kehidupan dari masyarakat adat setempat. Dua aspek yang menjadi sorotan terutama permasalahan pada tahap perizinan yang didorong serta ancaman Hak Asasi Manusia akibat aktivitas perusahaan yang melanggar keamanan personal dan kasus pembakaran hutan yang turut membawa ancaman tersendiri bagi aspek kesehatan masyarakat setempat.
Kondisi Masyarakat Adat dalam Pembangunan Industri Minyak Sawit
Boven Digoel merupakan wilayah yang terletak di bagian Selatan Papua. Diketahui dalam catatan sejarah masa Belnda, Pemerintah Belanda menemukan Boven Digoel dengan penduduk asli yang memiliki cara hidup tradisional, sederhana, dan tergantung pada alam. Beberapa suku yang diketahui telah lama menempati wilayah Boven Digoel adalah Suku Mandobo, Suku Auyu, Suku Muyu, dan Suku Kombay- Koroway. Lokasinya yang terpencil dan adanya sistem adat istiadat yang kuat yang masih terdapat pada masa itu membuat Belanda menjadikan Boven Digoel sebagai salah satu tempat pengasingan pada tahun 1926. Secara sosial, perlindungan hutan telah lama menjadi bagian dari identitas dan tradisi yang sangat dijunjung oleh masyarakat adat Boven Digoel. Penghargaan yang sangat tinggi terhadap hutan terbangun akibat adanya sistem ekonomi subsisten yang dimiliki masyarakat adat sejak masa lampau. Sebelum kehidupan modern memasuki wilayah Boven Digoel, pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat adat masih bergantung pada aktivitas berburu dan meramu, sehingga ekstraksi hasil hutan sangatlah penting untuk memenuhi kebutuhan pangan hingga obat- obatan.
Masyarakat Suku Mandobo yang banyak dari wilayahnya kini merupakan wilayah konsesi Korindo memanfaatkan tanah adatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti untuk gowe (berburu) babi hutan dan memanen sagu. Tidak hanya untuk berburu, Suku Mandobo di Kampung Sokanggo juga diketahui memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap berbagai tanaman di sekitarnya untuk diolah menjadi obat-obatan. Kebiasan berburu dan pengetahuan mengenai pengolahan tanaman menjadi obat-obatan diajarkan kepada setiap generasi dan berkembang seiring dengan waktu. Keberadaan lingkungan yang mampu mengakomodasi dan pengetahuan warisan para leluhur telah menjaga keberlangsungan kehidupan mereka sebelum industri merebak di wilayahnya. Makna hutan bagi pemenuhan kebutuhan sehari-hari inilah yang menjadi alasan mengapa hutan sangat dilindungi dalam tradisi masyarakat adat Boven Digoel, sehingga datangnya investor sebagai unsur asing yang mengonversi hutannya membawa perubahan besar bagi aspek kesejahteraan dan penghidupan masyarakat adat.
Bukan hanya untuk keperluan penghidupan, hutan turut dianggap sebagai identitas budaya, sehingga dalam mengelola hutan pun terdapat batasan-batasan tradisi dan hukum adat. Tanah yang dimiliki menjadi alat pertahanan, bukti nyata akan eksistensi mereka sebagai sebuah suku, sehingga tanah dan hutan memiliki nilai dan harga yang besar bagi mereka.
Corak ekonomi tradisional masih umum ditemukan di antara masyarakat adat Boven Digoel hingga akhir abad ke-20, sebelum penetrasi industri ke dalam wilayah ini mulai dilakukan secara massif dan secara perlahan namun pasti mentransformasi cara hidup masyarakat setempat.
Kini tidak semua anggota masyarakat adat di wilayah Boven Digoel mengalami level perubahan dan paparan modernisasi yang terpukul rata, artinya masyarakat adat tidak lagi hanya kelompok masyarakat yang masih berburu dan meramu, namun dapat dibagi ke dalam beberapa lapisan. Lapisan pertama adalah masyarakat yang masih hidup berdampingan dan bergantung dengan hutan, di mana kelompok masyarakat dalam golongan ini hidup di sekitar wilayah hutan dan masih memanfaatkan hasil hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan mencari nafkah. Di sisi lain, terdapat lapisan kedua yaitu masyarakat adat yang telah menjadi bagian dari sistem ekonomi modern di mana sebagian besar anggota masyarakatnya telah lebih menyerupai kehidupan modern. Dalam kelompok masyarakat ini, kegiatan berburu dan meramu hanya dipraktekkan oleh orang-orang tertentu saja.
Perbedaan antara keduanya tentu juga dipengaruhi oleh lokasi serta waktu datangnya investasi dan pembukaan lahan di daerah masing-masing. Menurut Franky Samperante, direktur Yayasan Pusaka Bentela Rakyat, masyarakat adat yang berada di wilayah TSE POP A seperti banyak marga dari Suku Mandobo termasuk dalam golongan kedua sebab selama sekitar 24 tahun terakhir mereka telah terpapar industri, sehingga kini sudah bertransformasi dan banyak yang telah bergantung pada kegiatan modern untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti menjadi pekerja dalam perusahaan sawit. Sedangkan, masyarakat adat yang berada di wilayah TSE POP B yaitu Suku Auyu cenderung memiliki pola kehidupan yang lebih tradisional. TSE POP B merupakan perkebunan milik Korindo yang lebih baru dan mulai dibuka pada tahun 2005 . Meskipun teknologi dan ekonomi modern juga ditemukan dalam kelompok masyarakat ini, tingkat transformasi yang dirasakan lebih rendah sehingga berburu dan meramu masih lebih awam.
Keberadaan globalisasi dan modernisasi di masa kini memang telah membuat transformasi menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindari bagi masyarakat adat Boven Digoel. Kehadiran industri sawit pada akhir abad ke-20 hingga awal abad ke-21 memiliki peran yang cukup signifikan dalam mempercepat transformasi ini untuk terjadi.
Sumber dari perubahan yang terjadi dapat dilihat dari 2 faktor, yaitu lingkungan dan migrasi.
Faktor lingkungan terletak pada kondisi hutan yang pada awalnya sangat erat dengan kehidupan masyarakat telah beralih fungsi. Lingkungan sangatlah terdampak pembangunan industri sawit, yang pada akhirnya menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, sebab hutan yang begitu lekat dengan masyarakat adat secara perlahan terkonversi secara masif. Dengan berkurangnya wilayah hutan, masyarakat adat mau tidak mau menyesuaikan diri dengan keadaan yang baru, baik itu secara jasmani mapun rohani. Proses adaptasi ini menghasilkan pergeseran pada way of life dan kebudayaan yang dijalani, salah satunya pada aspek kepercayaan dan tradisi. Seperti yang sudah dijelaskan, perlindungan hutan memiliki peran yang besar sebagai salah satu bagian dari identitas dan tradisi peninggalan nenek moyang bagi masyarakat setempat. Dengan banyaknya hutan yang hilang dan berubah menjadi perkebunan sawit, budaya perlindungan hutan perlahan bergeser terutama di dalam kelompok masyarakat yang berada di wilayah industri. Selain budaya, menipisnya hutan berpengaruh besar terhadap aksesibilitas terhadap sumber daya alam, yang pada akhirnya berujung kepada pergeseran pola pemenuhan kebutuhan jasmani. Kebudayaan gowe yang dilakukan oleh Suku Mandobo sudah jarang ditemui di antara masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah konsesi perusahaan sawit sebab berkurangnya lahan hutan. Menurut Agus Andrianto, peneliti Center for International Forestry Research, bagi mereka yang bekerja di sekitar perkebunan, mereka akan memanfaatkan warung yang ada untuk membeli makanan jadi atau memanfaatkan pasar untuk membeli daging. Hilangnya keanekaragaman hayati dan berkurangnya jumlah tumbuhan akibat konversi lahan hutan telah mengubah pola dan selera makan mereka. Alih- alih berburu babi hutan ataupun rusa serta memakan sagu dan hasil alam lainnya seperti yang kerap disangka oleh masyarakat umum, kini banyak dari anggota kelompok masyarakat adat lebih terbiasa mengonsumsi mie instan dan nasi.
Faktor migrasi berasal dari kehadiran migran yang semakin banyak seiring dengan perkembangan aktivitas perusahaan sawit. Pergeseran cara atau pandangan hidup tidak hanya disebabkan oleh berkurangnya hutan, namun juga terjadi seiring dengan upaya masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan sosial yang terjadi dan kebudayaan industrial yang kian berkembang di wilayahnya. Kedatangan perusahaan minyak sawit menjadikan Boven Digoel yang sebelumnya tertutup menjadi daerah terbuka, sebab perusahaan-perusahaan tersebut turut serta membawa banyak pekerja migran ke dalam wilayah Boven Digoel. Keberadaan para pendatang turut membawa serta kegiatan sosio- ekonomi yang mereka praktekkan di wilayah asalnya, sehingga terjadi penetrasi budaya modern yang menghasilkan pergeseran sosio-ekonomi bagi masyarakat adat di wilayah Boven Digoel. Pekerja migran mempermudah akses terhadap kehidupan modern, sebab apa yang mereka butuhkan turut dibawa ke Boven Digoel. Barang-barang teknologi yang sebelumnya jarang ditemukan diantara masyarakat lokal menjadi salah satu diantaranya. Handphone, televisi dan alat teknologi modern lainnya kemudian perlahan semakin dikenal oleh masyarakat adat. Kini mayoritas dari masyarakat adat, bahkan mereka yang tinggal jauh dari industri seperti di pegunungan, sudah terbiasa dan menggunakan alat komunikasi modern. Tidak hanya teknologi, budaya konsumsi junk food pun sudah mulai diadaptasi.
Melihat dari kondisi-kondisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kehadiran industri minyak sawit turut membawa perubahan sosial melalui pekerja migran yang dibawa oleh perusahaan. Perubahan sosial tersebut terutama terasa pada meningkatnya demand terhadap berbagai kebutuhan jasmani modern seperti uang dan teknologi. Hingga kini demand tersebut sudah menyerupai apa yang pada umumnya dapat kita temukan di wilayah lain.
Mayoritas masyarakat adat yang berada dalam usia kerja dan berpartisipasi dalam industri sawit masih bekerja sebagai buruh kasar, sehingga pekerjaan yang dilakukan juga kerap bergantung dengan aktivitas yang sedang dilakukan oleh perusahaan. Menurut Franky Samperante, direktur Yayasan Pusaka Bentela Rakyat, di saat masa pembukaan hutan mereka akan menjadi buruh tebang, sedangkan di saat masa panen mereka akan menjadi buruh panen. Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam tingkat pengetahuan atau perbedaan dalam tingkat kualitas sumber daya manusia sejak awal perusahaan beroperasi.
Ancaman yang dirasakan pada proses transformasi yaitu migrasi dan lingkungan secara perlahan berkembang menjadi satu ancaman baru, yaitu ancaman ekonomi. Terlepas dari berbagai potensi dan manfaat yang terbuka, hingga kini banyak dari masyarakat adat terjebak menjadi buruh kasar dan mengelola perkebunan dengan upah minim.
Analisis Tahapan Perizinan dan Pengaruhnya Kepada Masyarakat Adat
Herningtyas (2021) menyebutkan bahwa terdapat 4 tipe konflik dalam lingkup masyarakat adat dan industri sawit di Indonesia. Tipe 1, yaitu Pembebasan lahan dan Hak Guna Usaha (HGU) mendominasi. Setelahnya terdapat tipe 2 yaitu perkebunan plasma dan ganti rugi lahan, tipe 3 yang adalah janji yang diingkari dan komitmen CSR yang tidak ditepati, serta tipe 4 yaitu produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) dan Tandan Buah Segar (TBS).
Isu akuisisi lahan dan perizinan HGU merupakan sumber utama konflik utama yang mendominasi pergolakan dalam masyarakat adat. Beberapa masalah yang tercakup di dalam isu akusisi lahan termasuk kompensasi yang tidak memadai, pemakaian area yang dianggap sebagai hak ulayat oleh masyarakat adat, dan penipuan dalam klaim tanah berdasar HGU yang belum diterbitkan . Sejalan dengan kategori konflik ini, sumber dari konflik serta ancaman terhadap keamanan komunitas masyarakat Boven Digoel dapat dilacak kembali dalam tahap perizinan. Dalam tahap perwujudannya, permasalahan perizinan terikat erat dengan isu dalam tipe 3 yaitu pengingkaran janji-janji perusahaan yang di dalamnya termasuk masalah tidak dilaksanakannya MoU dan CSR tidak pernah disalurkan.
Perkebunan anak perusahaan Korindo, Tunas Sawa Erma POP A yang terletak di Desa Butiptiri menjadi wilayah pertama kebun sawit Korindo dan mulai dibuka di Boven Digoel pada tahun 1998, sebelum UU Otonomi Khusus diberlakukan. Boven Digoel mulai menjadi kabupaten tersendiri pada 12 November 2002 dan keberadaan militer di Papua sangat umum di Papua terutama pada masa Orde Baru hingga saat ini Papua masih menjadi Daerah Operasi Militer. Pemilik lahan di kampung ini mengakui bahwa informasi yang diberikan pada saat akuisisi lahan sangat tidak jelas. Kepala kampung Butiptiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan informasi dari kepala distrik di kabupaten Merauke mengenai rencana perusahaan maupun kompensasi yang diajukan, namun ia tidak berani untuk mendiskusikannya kembali sebab beberapa bulan setelahnya sejumlah pos militer didirikan di wilayah kampung tersebut. Sedangkan pemilik lahan yang berada di sub distrik Jair mengakui bahwa sidik jari mereka dibubuhkan untuk dokumen yang tidak dibaca
Berbeda dengan POP A, proses pemberian lahan TSE POP B yang berada di Desa Getentiti sejak diberlakukan UU Otonomi Khusus di mana pihak perusahaan melalui pemerintah daerah menfasilitasi bertemu dengan pemilik lahan. Perusahaan dan oknum pemilik lahan telah menyetujui kondisi yang ditetapkan oleh pemilik lahan, namun masalah muncul ketika perusahaan mengajukan sebuah dokumen untuk mendapat HGU, pemilik lahan menyatakan bahwa mereka mengira dokumen yang ditandatangani adalah perjanjian sewa tanah, bukan pengalihan tanah. Sejak itu, proses ekspansi perkebunan mendapat perlawanan akibat masyarakat mulai enggan memberikan kewenangan bagi perusahaan. Berakar dari ketidakjelasan pihak perusahaan kepada masyarakat adat, muncul perlawanan masyarakat adat terhadap perusahaan.
Kesadaran masyarakat adat dapat menghasilkan 2 hal, yaitu: masyarakat adat menerima kondisi seperti yang terjadi pada TSE POP A, atau masyarakat adat melakukan perlawanan seperti yang terjadi pada TSE POP B. Misalnya Petrus Kinggo Ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo, Petrus Kinggo, adalah anggota masyarakat adat yang kerap menyuarakan keresahaannya. Petrus merupakan salah satu pemilik lahan yang mewakili 10 marga lainnya untuk menandatangani dokumen perjanjian untuk pembuatan Hak Guna Usaha bagi wilayah baru Tunas Sawa Erma yaitu TSE POP E pada tahun 2014, sebelum pada akhirnya ia menyadari bahwa dokumen tersebut dimanipulasi perusahaan untuk mendapatkan dan memanfaatkan lahan hutan yang ia miliki selamanya. Petrus menyatakan pada tahun 2018 bahwa Korindo berjanji akan mengembalikan lahannya setelah selesai digunakan, namun tak lama setelahnya ia menyadari bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan berdasarkan hukum Indonesia.
Dalam tahap mendapatkan perizinan, perusahaan yang berhadapan secara langsung dengan masyarakat adat seringkali memberikan janji-janji. Disinilah tindakan manipulatif kerap terjadi, sebab ketidaktahuan masyarakat adat rawan dimanfaatkan untuk memudahkan mendapat lampu hijau. Secara legal, Korindo telah melakukan konsultasi dan bertemu langsung dengan masyarakat adat terdampak dan mendapatkan izin dari masyarakat. Namun satu hal yang tidak kalah penting untuk mendorong masyarakat adat agar memperbolehkan hutannya digunakan adalah janji-janji tersebut. Janji dapat diberikan dalam berbagai bentuk, baik itu uang tunai, pembangunan fasilitas, maupun pekerjaan, sehingga masyarakat tergiur dengan harapan akan hidup dengan lebih sejahtera. Janji-janji pembangunan tersebut yang juga mendorong Petrus Kinggo untuk membantu TSE untuk mendapat pelepasan hutan adat dari pemilik hak ulayat lainnya.
Pada kenyataannya, tidak semua janji tersebut dapat dipenuhi oleh perusahaan, sebab janji diberikan tanpa ada bentuk tertulis maupun hukum yang mengikatnya. Tidak jarang terdapat kondisi di mana setelah perkebunan sawit dibangun dan perusahaan menuai keuntungan, kehidupan masyarakat tetap statis dan tidak mengalami perubahan besar sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Hal ini pula yang kerap mendorong perlawanan dari masyarakat adat. Di saat masyarakat menyadari dan merasa bahwa janji yang diberikan belum diwujudkan, mereka kerap melakukan perlawanan seperti advokasi seperti yang dilakukan Petrus maupun melakukan kegiatan pemalangan atau blokade terhadap aktivitas perusahaan.
Secara jangka panjang, adanya teknik misinformasi dan pemberian janji janji oleh perusahaan adalah cara untuk menguasai lahan masyarakat adat. Pemberian informasi yang tidak lengkap menimbulkan risiko akan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan kompensasi yang lebih besar dan sesuai atas tanah yang telah menjadi sumber utama dari pemenuhan kebutuhan serta bagian krusial dari identitas mereka. Tidak adanya bukti tertulis mengenai janji-janji juga berpotensi menimbulkan ekspektasi yang terlalu besar pada perusahaan, sehingga masyarakat adat terlalu bergantung pada kemudahan yang dijanjikan oleh perusahaan, meskipun tidak ada bukti resmi yang menjadi jaminan pemenuhan janji. Melihat kondisi tersebut, dapat dikatakan bahwa hal-hal yang terjadi pada tahap perizinan ini memiliki ancaman serius bagi masyarakat adat setempat.
Industri minyak sawit telah membentuk transformasi pada pola hidup masyarakat adat Boven Digoel di masa kini. Tidak transparan dalam proses perizinan dan kondisi hukum Indonesia yang memihak pada investasi memberikan ancaman keamanan terhadap masyarakat adat. Satu hal yang pasti, seiring dengan perubahan dan pembangunan yang dirasakan, terjadi pergeseran dalam nilai-nilai budaya dan tradisi yang berdampak pada genosida, ekosida dan etnosida.
Referensi: Jurnal Ekologi, Masyakat dan Sains “Ambiguitas Pembangunan Industri Minyak Kelapa Sawit di Boven Digoel : Ancaman atau Peluang terhadap Keamanan Komunitas Masyarakat Adat.