Penulis : Ones Suhuniap ( Juru Bicara Nasional Komite Nasional Papua Barat)
Rakyat Papua hanya obyek kepentingan dalam tindakan politik Penguasa Oligarki Jakarta untuk kesejahteraan orang Indonesia (suku suku tertentu dan dominan) di Papua hingga masa Rezim Prabowo Gibran saat ini.
Papua surga bagi Indonesia untuk mengatasi kemiskinan dan tempat mencari harta karun demi kemakmuran kau migran menjadi nyata dengan penguasaan semua sektor ekonomi makro hingga mikro, penguasaan bisnis sumber daya alam hingga penguasaan birokrasi di pemerintahan.
Program transmigrasi yang sudah dimulai sejak tahun 1966 adalah cara untuk mengatasi kemiskinan dengan program mensejahterakan rakyat Indonesia tetapi juga bagian dari cara rezim kolonial melakukan pendudukan wilayah. Tercatat dari tahun 1963 sejak aneksasi Papua, rezim Jakarta tidak menunjukan prestasi pembangunan sumber daya manusia yang handal agar bisa menguasai semua sistem ekonomi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur bahkan di birokrasi, namun yang terjadi justru rakyat Papua semakin tersingkir dari semua aspek pembangunan. Semua syarat untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diantaranya umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup layak masih menjadi perdebatan untuk diperjuangkan.
Sejarah rakyat Papua dianeksasi melalui invasi militer masa Rezim Jakarta di kuasai Soekarno tahun 1963 yang kemudian dikudeta Rezim Soeharto di tahun 1965 tetap masih sama memakai program mobilisasi penduduk ke wilayah Papua. Pada tahun 1966 tiga tahun sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA tahun 1969) mobilisasi penduduk menjadi kebijakan strategis Soeharto dalam menyiapkan pelaksanaan PEPERA yang bertentangan dengan Perjanjian New York Agreement maupun Roma Agreement.
Di tahun 1976 – 1977, Wilayah Sorong adalah daerah awal yang menjadi tujuan program transmigrasi. kemudian di tahun1979, rezim Jakarta mulai membuka empat satuan permukiman transmigran di daerah Aimas (Kabupaten Sorong saat ini) yang berada di sisi selatan Klasaman. Selanjutnya Penempatan Transmigrasi di Wilayah Jayapura areal Arso sekarang kabupaten Keerom, di wilayah Merauke, di wilayah Manokwari daerah warmare hingga sidey, dan di wilayah Nabire.
Sejak otonomi khusus diberlakukan tahun 2001 sebagai jalan tengah meredam gerakan kemerdekaan Bangsa Papua, diberlakukan banyak pemekaran daerah kabupaten yang menjadi strategi awal untuk membuka akses dan lapangan kerja bagi kaum migran Indonesia dan juga menghilangkan nasionalisme kebangsaan Papua.
“Ada Kisah kehidupan seorang ibu namanya Indah datang ke Kabupaten Sorong, ketika itu perempuan asal Surabaya, Jawa Timur, tersebut baru saja lulus sekolah menengah atas keinginan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi saat itu pupus. Keluarganya tak bisa lagi menanggung biaya sekolah karena kendala biaya. Di tengah kebimbangan, seorang saudara dekat menghubunginya dan diujung telepon, kerabat Indah itu memintanya datang ke Sorong. Tak berpikir lama, Indah menyambut ajakan tersebut. “Saya nekat karena mencari masa depan. Indah, warga non-Papua yang telah tinggal di Sorong sejak awal tahun 2000 an, membantu saudaranya itu menjaga sebuah kios yang menjual aneka bumbu dan bahan masakan. Saya senang mencari nafkah di sini. Hidup saya ada perubahan Kini, di usianya yang ke 41 tahun sudah memiliki tanah dan kios sendiri dan menetap di Sorong”. Ada banyak kisah yang terjadi seperti cerita indah, bahkan kaum migran di seluruh Tanah Papua sudah bisa menjadi pejabat birokrasi bahkan menjadi pimpinan daerah saat ini dan sebagai penentu berbagai kepentingan politik praktis ( Pemilihan Umum, Pemilihan Parlemen dan Pemilihan Gubernur, bupati wali kota, hingga Distrik dan kampung kampung).
Wilayah Papua adalah salah satu wilayah strategis untuk bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, sehingga strategi program transmigrasi menjadi pola yang terencana dan masuk dalam program strategis nasional melalui pengembangan dan pemetaan wilayah baik administrasi sesuai dengan kekayaan sumber daya alam, sehingga cita cita Indonesia emas di tahun 2045 dapat terwujud. Semua tindakan politik jakarta terhitung selama 62 tahun ini, wajah Indonesia lebih identik dengan aneksasi, pelanggaran Hak Asasi Manusia dan pendudukan wilayah Papua. bukan untuk mensejahterakan seluruh rakyat Papua, ini bisa dilihat dalam semua kebijakan politik politik jakarta di Papua yang merasa makmur, sejahtera, berkeadilan adalah kaum migran di Papua. Hal ini dapat di lihat dengan jelas dalam realitas kehidupan rakyat Papua yang menurut data paling terbelakang dan termiskin. Berbagai pengangguran, sulit bekerja, angka putus sekolah, angka buta aksara, angka kemiskinan, angka kematian ibu dan anak, angka stunting semua menempati posisi terburuk dan kritis. Pembangunan infrastruktur hanya digunakan untuk membuka akses investasi dan lapangan kerja baru buat kaum migran. Hal hal inilah yang akan membuat persoalan baru dalam kehidupan sosial masyarakat adat Papua saat ini.