Woflenews..com, Jayapura – Dalam siaran pers nomor : 003/SP-LBH-Papua/III/2023, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, S.H, MH menegaskan bahwa; “Kapolda Papua dan Komnas HAM Republik Indonesia Segera Proses Hukum Pelaku Pembunuhan dan Penyalahgunaan Senjata Api serta Dugaan Pelanggatan HAM Berat Terhadap Masyarakat Sipil Dalam Kerusuhan Di Wamena”
Dari Kasus Dugaan Penculikan anak yang berujung terjadinya konflik atau kerusuhan pada tanggal 23 Februari 2023 yang menelan korban jiwa dan korban raga serta korban harta benda di Wamena merupakan salah satu kasus yang telah mengusik nilai kemanusiaan. Terusiknya nilai kemanusiaan tersebut terlihat melalui fakta adanya 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dan 23 orang warga silip terluka serta ada 18 anggota TNI-Polri yang terluka. Terlepas dari itu, ada pula 13 Rumah dan Dua Ruko dibakar massa (Baca : https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230224150447-12-917483/update-kericuhan-di-wamena-10-orang-tewas-23-terluka).
Terhadap Kasus diatas jika kaji secara hukum maka akan ditemukan beberapa fakta pelanggaran hukum mulai dari fakta adanya kasus dugaan penculikan anak sebagaimana diatur pada Pasal Pasal 76F Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kasus dugaan penyalahgunaan senjata api sebagaimana diatur dalam Undang Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951, kasus dugaan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur pada Pasal 340 KUHP, kasus dugaan tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur pada Pasal 338 KUHP, kasus dugaan tindak pidana pengeroyokan dan pengrusakan sebagaimana diatur pada Pasal 170 KUHP, kasus dugaan tindak pidana lainnya dan bahkan ada indikasi dugaan pelanggaran HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur pada Pasal 9 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan fakta pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus konflik atau kerusuhan pada tanggal 23 Februari 2023 diatas menunjukan beberapa objek korban baik korban jiwa, Korban raga dan benda benda. Dari fakta objek korban diatas tentunya tidak dapat disamakan sebab semua objek memiliki kualitas yang berbeda-beda, atas dasar itu maka sangat tidak logis jika objek korban benda disamakan dengan objek korban raga (badan) begitu pula objek korban harta benda dan objek korban raga disamakan dengan objek korban jiwa. Dengan demikian dalam penyelesaian fakta pelanggaran hokum yang terjadi dalam kasus konflik atau kerusuhan pada tanggal 23 Februari 2023 diatas tidak dibenarkan secara hukum untuk menyelesaikannya mengunakan satu metode penyelesaian perkara sebab akan melanggar hak atas keadilan bagi korban yang dijamin dalam ketentuan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” sebagaimana diatur pada pasal 17, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang melindungi korban.
Secara khusus berkaitan dengan Kasus Penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggatan HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada fakta adanya 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023 diatas secara hokum tidak dibenarkan jika diselesaikan mengunakan Mekanisme Kekeluargaan atau Mediasi atau Restorative Justice sebab Kasus Penyalahgunaan senjata api dan tindak pidana pembunuhan atau dugaan pelanggatan HAM Berat dalam bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang dialami oleh 10 orang warga sipil yang meninggal dunia merupakan “TINDAKAN KESALAHAN PELAKU YANG SANGAN BERAT” sehingga jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan “TINDAK KESALAHAN PELAKU RELATIF TIDAK BERAT, YAKNI KESALAHAN (SCHULD) ATAU MENSREA DALAM BENTUK KESENGAJAAN (DOLUS ATAU OPZET) TERUTAMA KESENGAJAAN SEBAGAI MAKSUD ATAU TUJUAN (OPZET ALS OOGMERK)” sebagaimana diatur pada Pasal 3 huruf a, angka 4, huruf a, angka 1, Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana.
Selain itu, apabila fakta kasus 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023 telah dilakukan PEMBAYARAN DENDA juga secara hukum tidak dapat menghapus kewenangan penuntutan pidana sebab berdasarkan teori hukum pidana Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana apabila :
- Perkara yang sudah diproses dan diproses kembali (Pasal 76 KUHP),
- Pelakunya maninggal dunia (Pasal 77 KUH)
- Dalwarsa atau masa penuntutannya berakhir (Pasal 78 KUHP)
Dengan demikian tentunya melalui fakta PEMBAYARAN DENDA dalam kasus kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023 tidak membenarkan memberlakukan Surat Edaran Kapolri Nomor : SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara pidana karena “TINDAK KESALAHAN PELAKU RELATIF TIDAK BERAT DAN TIDAK MENJADI SYARAT HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA” atas kasus penembakan dan atau pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023.
Pada prinsipnya menurut hukum pidana “PERDAMAIAN TIDAK MENGHAPUS TINDAK PIDANA YANG TERJADI, PERDAMAIAN HANYALAH AKAN MEMBERIKAN KERINGANAN BAGI PUTUSAN YANG AKAN DIJATUHKAN OLEH HAKIM DI PENGADILAN” dengan demikian tidak ada seorangpun selain hakim dengan alasan apapun dapat menjadikan PERDAMAIAN ataupun PEMBAYARAN DENDA sebagai dasar pijakan untuk menghentikan proses penegakan hukum atas kasus penembakan dan atau pembunuhan atau dugaan pelanggaran HAM Berat terhadap 10 orang warga sipil yang meninggal dunia dalam kerusuhan di Wamena pada tanggal 23 Februari 2023. Atas dasar itu, ditegaskan kepada siapapun untuk tidak menyalahgunakan mekanisme penyelesaian adat sebagai media untuk membungkam penegakan hukum mengunakan mekanisme yang telah diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan atau Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia junto Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berlaku di Indonesia dan bahkan berusaha untuk melindungi pelaku dari jeratan hukum yang justru akan menambah deretan panjang fakta impunitas di wilayah papua khususnya di Wamena.
Untuk diketahui bahwa tujuan penegakan hukum pidana adalah : 1. Mencegah dan menanggulangi kejahatan, 2. Memperbaiki si pelaku kejahatan untuk kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna, 3. Mencegah terjadinya perlakuan atau tindakan sewenang-wenang di luar hukum (tidak manusiawi) dan 4. Menyelesaikan konflik serta memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2009, hal, 45-46). Dengan demikian melalui mekanisme PEMBAYARAN DENDA tidak mungkin akan mencapai 4 (empat) tujuan penegakan hukum pidana diatas.
Dengan berdasarkan pada ketentuan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar” sebagaimana diatur pada pasal 17, Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maka kami Lembaga Bantuan Hukum Papua mengunakan kewenangan sesuai Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kepada :
- Kapolri segera perintahkan Kapolda Papua lakukan penegakan hukum atas kasus dugaan pembunuhan dan penyalahgunaan sejata api yang menewaskan 10 Orang Masyarakat Sipil di Wamena dengan prinsip PEMBAYARAN DENDA TIDAK MENGHAPUS KEWENANGAN MENUNTUT SECARA PIDANA;
- Kapolda Papua segera melakukan penegakan hukum atas kasus dugaan tindak pidana pembunuhan dan penyalahgunaan sejata api yang menewaskan 10 Orang Masyarakat Sipil di Wamena;
- Ketua Komnas HAM Republik Indonesia segera membentuk Tim Infestigas untuk melakukan penyelidikan atas dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Kasus Kerusuhan di Wamena sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
- Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban segera melakukan perlindungan terhadap saksi dan korban atas kasus dugaan tindak pidana pembunuhan dan penyalahgunaan sejata api yang menewaskan 10 Orang Masyarakat Sipil di Wamena
- Ketua DPRD Kabupaten Jayawijaya segera bentuk Panitia Khusus Kemanusiaan untuk mendorong penegakan hukum atas kasus dugaan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Kasus Kerusuhan di Wamena sesuai perintah Pasal 89 ayat (3) huruf b, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Demikian penegasan Direktur LBH=Papua dalam siaran tersebut. (Nasa)Wo