Transmigrasi: Meningkatkan Klaim dan Kontrol Indonesia atas Papua

Oleh, Pilipus Robaha

Kata transmigrasi saya dengar ketika duduk dibangku kelas V (lima) Sekolah Dasar (SD). Ketika itu saya hanya tahu bahwa transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu wilayah yang padat penduduknya ke wilayah lain yang belum padat penduduknya, itu saja. Dan tidak tahu kalau Papua adalah salah satu wilayah dimana ditempatkan transmigrasi dari pulau Jawa. Juga tidak mengetahui tujuan-tujuan politis dari transmigrasi ke Papua. Pada tahun 2003 ketika saya masuk sekolah di SMK Negeri 4 Jayapura-Koya Barat, barulah saya tahu kalau ada transmigrasi di Jayapura, namun belum juga tahu kalau transmigrasi ke Papua itu sama tujuannya seperti koloni Belanda di Gedong Tataan Lampung.

Kini transmigrasi kembali menjadi hebo di media setelah Prabowo Subianto yang baru dilantik menjadi Presiden Indonesia, pada 20 Oktober 2024 mengarahkan Kementerian Transmigrasi untuk mengadakan program transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur terutama Papua. Ide mengirim transmigrasi ke wilayah Indonesia Timur dengan fokus Papua ditentang banyak orang termaksud anggota DPD RI dari daerah pemilihan Papua Barat, Lamek Dowansiba yang meminta Presiden Prabowo untuk mengkaji ulang program transmigrasi ke Papua.

“Saya pikir Pak Presiden harus bijak juga dalam melihat hal itu, kemudian bisa mengutus para tim khusus yang memang dibentuk untuk kaji kembali wacana transmigrasi,”  Lamek Dowansiba  (Kompas/ Jakarta/22/10/2024).

Karena ide mengirim transmigrasi ke Papua menjadi trending topik di Indonesia, saya kemudian mencoba menelusuri jejak transmigrasi ke Papua diinternet guna meyakini pendapat saya dewasa ini tentang tujuan transmigrasi ke Papua. Dari google, ternyata pengiriman transmigrasi pertama ke Papua (Jayapura dan Merauke) terjadi pada tahun 1964 dengan jumlah orang sebanyak 1.000 orang, dan itu dikirim dari Pulau Jawa.

“Pada tahun 1964, Kodam Cendrawasih menyaksikan kedatangan transmigrasi dari Jawa ke Jayapura dan Merauke. Jumlahnya 1.000 Jiwa yang terbagi menjadi 267 kepala keluarga” tirto.id (22 Agustus 2019) yang dikutip dari buku “Penanganan Program Transmigrasi di Irian Jaya:Suatu Pendekatan Kesejahteraan dan Kemanusian (1984, hal 4”

Sementara data dari Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Propinsi Papua tahun 2000 menurut Agus Sumule, akademis dari Universitas Papua yang juga adalah salah satu tim perancang undang-undang Otsus tahun 2001. Bahwa  penempatan transmigrasi di wilayah Papua sejak Pra-Pelita sampai dengan akhir Pelita VII (sebelum reformasi 1998), sebanyak 78.650 Kepala Keluarga (KK) transmigrasi dengan jumlah anggota keluarga 306. 447 orang. (Data ini saya peroleh dari grup WA yang dikirim oleh advokat muda Papua, Micael Himan, SH, MH.)

Apa motif sebenarnya dibalik pengeriman transmigrasi ke Papua? Ada motif ganda namun saya ingin mendahulukan jawabannya dengan menelusuri kembali sejarah transmigrasi di Indonesia. Program transmigrasi pernah dilakukan di Indonesia sejak masa penjajahan Belanda sebagaimana yang telah saya singgung pada bagian paling awal tulisan ini. Program Transmigrasi di jaman penjajahan Belanda disebut sebagai kolonisai wilayah. Secara politik, kolonisasi wilayah merupakan politik etis dari pemerintah atau penguasa untuk mengkleim satu wilayah sebagai miliknya. Atau dengan cara mengirim sebagian besar penduduknya untuk tinggal dan menetap diwilayah yang dianggap sebagai miliknya.

Dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Belanda pertama kali melakukan praktek koloni/transmigrasi di Gedong Tataan Lampung, bulan November tahun 1905, dan di pimpin langsung oleh Gubernur Jendral Johanes Benedictus van Heutsz.  Motif penting bagi Belanda dibalik kolonisasi (transmigras) adalah untuk mencegah negara-negara Eropa lainya datang mengambil bagian dari wilayah yang dianggap adalah wilayah koloni Belanda, selain untuk mendapatkan tenaga buruh murah. Dampak negatif dari program kolonisasi adalah terbentuknya monopoli perdagangan yang tentu sangat merugikan masyarakat adat pemilik wilayah penerima koloni yang dinasionalisasikan kedalam bahasa Indonesia menjadi transmigrasi.

Selain kolonisasi Belanda di Indonesia yang dalam praktek Indonesia sekarang ini disebut transmigrasi. Sejarah kolonisasi juga terjadi di Amerika terhadap orang-orang Indian yang dilakukan oleh para koloni dari Inggris/Britania Raya. Kolonisasi orang-orang dari Inggris di Amerika ini kemudian berdampak pada hilangnya/musnahnya orang-orang Indian yang adalah pemilik benua Amerika. Orang-orang Indian sebagai pemilik wilayah Amerika termarjinalkan dan mengalami genosida oleh pengiriman koloni-koloni dari Inggris yang mulai dikirim ke Amerika, pada tahun 1585 dan 1587 serta dipenghujung tahun 160, dibawah bendera Virginia Company (Daron Acemoglu dan James A. Robinson: Mengapa Negara Gagal. Hal. 16). Pengiriman koloni-koloni dari Britania Raya/Inggris sebagaimana yang saya sebutkan itu adalah langkah awal kolonisasi di Amerika yang berujung pada pemusnahan etnis orang-orang Indian di Amerika.

Dari sejarah kolonisasi Belanda di Indonesia dan motifnya serta sejarah kolonisasi Inggris di Amerika dan dampaknya, sa rasa pembaca bisa mendapatkan gambaran tujuan dari transmigrasi ke Papua. Dan kitong sangat terbantu untukmengetahui tujuan dari transmigrasi ke Papua melalui menteri transmigrasi, Muhammad Iftitah Sulaiman Suryanegara, soerang pensiunan militer angkatan darat. Ifitatah Sulaiman mengatakan bahwa tujuan dari transmigrasi ke Papua adalah agar Papua betul-betul menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pernyataan ini kemudian dibumbui dengan narasi kesejahteraan.

“Agar Papua betul-betul menjadi bagian utuh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam konteks kesejahteraannya dan dalam konteks nasionalnya, dan dalam kontek lebih besar” Iftitah, Tempo (Rabu/23/Oktober 2024).

Dari sejarah kolonisasi di Indonesia dan Amerika, juga pernyataan Menteri Transmigrasi Indonesia bahwa tujuan transmigrasi ke Papua agat Papua (bukan orangnya tapi tanahnya) betul-betul menjadi bagian utuh dari NKRI, dapat dibilang. Bahwa tujuan Prabowo mengirim transmigrasi ke Papua sama seperti kolonisasi Belanda di Gedong Tataan, Lampung dan kolonisasi Inggris di Amerika, yakni meningkatkan kleim Indonesia atas tanah Papua yang memiliki tujuh Presiden dalam perjuangan pembebasan Papua merdeka. Prabowo Subianto ingin mengatakan kepada kepala-kepala negara yang kemarin diundang mengadiri pelantiknya sebagai Presiden, terutama kepala-kepala negara Melanesia di Pasifik yang mendukung perjuangan hak penentuan nasib sendiri orang Papua seperti; Vanuatu. Bahwa orang Papua yang memiliki tujuh orang Presiden itu adalah saudara serumpunmu. Tapi tanahnya yang kaya akan sumber daya alam itu adalah bagian dari wilayah kolonialisme Indonesia. Titik. Hal ini sama seperti tujuan Belanda mengirim koloni ke Gedong Tataan, Lampung yakni untuk mengontrol dan meningkatkan kleim wilayahnya dari kolonial-kolonial eropa lainya.

Kitong perlu ketahui bahwa kebijakan politik yang memiliki motif ganda seperti transmigrsi/kolonisasi hanya akan menguntungkan orang-orang yang dikirim sebagai transmigran. Sementara kitong pribumi yang wilayahnya menjadi sasaran transmigrasi/wilayah koloni akan termarjinalkan dan tak berdaya sebagaimana suku Indian di Amerika yang kini tinggal sejarah. Orang-orang migran akan memonopoli perdagangan dan itu adalah dampak negatif dari proyek kolonisasi (transmigrasi). Contohnya, bagaimana monopoli perdagangan yang terlihat di wilayah Kota Jayapura, terutama di Koya Barat dan Koya Timur yang pasar ekonominya dikuasai para migran yang adalah orang-orang yang dikirim dari Jawa ke Papua melalui progam transmigrasi. Sementara orang Papua yang ikut dalam program trans lokal tapi juga masyarakat adat Skouw, Enggros, Nafri sebagai pemilik wilayah transmigrasi menjadi penonton dan semakin terasing di negeri sendiri. Dan ini bisa menjadi contoh nyata dampak negatif dari transmigrasi di Papua. Contoh lainya adalah Merauke. Di Merauke  dalam pemilu legislatif tahun ini (2024), dari 30 kursi yang ada, Orang Asli Papua (OAP) hanya dapat tiga kursi sementara 27 kursi diambil orang-orang migran.

Jadinya sangat aneh, bila kitong orang Papua percaya bahwa kitong akan sejahtera melalui kebijakan transmigrasi ke Papua. Niccolo Machiaveli dalam bukunya The Prince, bilang bahwa pemindahan penduduk adalah salah satu cara terbaik untuk mengontrol sebuah wilaya. Cara itu lebih efektif dan murah ketimbang mengirimkan pasukan untuk menjaga wilayah koloni. Dan apa yang disampaikan Machiaveli itu mengkonfirmasikan tujuan politik dari transmigrasi yang pertama kali saya dengar ketika duduk dibangku kelas V SD. Bahwa transmigrasi itu bukan saja bicara soal perpindahan penduduk tapi bicara juga soal kleim dan kontrol wilayah. Tujuan  dari program transmigrasi ke Papua yang dicanangkan Prabowo adalah untuk meningkatkan kleim dan kontrol atas wilayah Papua yang memiliki sumber daya alam melimpa tapi juga memiliki tujuh Presiden dalam perjuangan Papua merdeka yang sulit bersatu, sebagai bagian dari wilayah koloni Indonesia. Ngerih!

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours