DIBALIK KRIMINALISASI HARIS AZHAR DAN FATIA MAULIDIYANTI

Jakarta, woflenews.com – Perkara kriminalisasi  ini berawal dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam” yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar.  Dalam video tersebut, keduanya menyebut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan “bermain” dalam bisnis tambang di Intan Jaya Papua.
Laporan Luhut terhadap Haris dan Fatia dibuat di Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 dan Polda Metro Jaya resmi menetapkan Haris dan Fatia sebagai tersangka dugaan kasus pencemaran nama baik pada bulan Maret 2022.

Ini merupakan salah satu kasus pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi tercermin pada kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti (Koordinator KontraS) dan Haris Azhar (Pendiri Lokataru) sudah pada proses sidang peradilan. Pada Senin, 3 April 2023, kasus dugaan pidana pencemaran nama baik terhadap Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Republik Indonesia, Luhut Binsar Panjaitan akan melewati fase sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan jaksa terhadap Haris Azhar dan Fatia dengan Pasal 27 ayat (3) juncto Pasal 45 ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Serta dakwaan kedua diancam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ketiga, Pasal 310 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Data dan Fakta

Kriminalisasi ini berawal dari  penelitian dan kajian cepat yang berjudul “EKONOMI – POLITIK PENEMPATAN MILITER DI TANAH PAPUA – KASUS INTAN JAYA yang di lakukan oleh beberapa organisasi non Pemerintah (NGO/LSM) diantaranya  #Bersihkan Indonesia, YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, GreenPeace Indonesia dan Trend Asia pada bulan Agustus 2021.

Kajian cepat ini menilai bahwa operasi militer yang dilakukan di Papua merupakan upaya ilegal. Pasalnya, pengerahan pasukan militer itu tidak memiliki landasan instruksi yang seharusnya dikeluarkan oleh presiden dan disetujui DPR. Selain itu, sampai saat ini tidak diketahui secara pasti berapa banyak anggota militer yang telah ditempatkan di Papua. Surat balasan Markas Besar TNI kepada KontraS menyatakan bahwa informasi mengenai data penerjunan anggota TNI/POLRI di Papua merupakan informasi yang dikecualikan. Sementara itu, Mabes POLRI menjawab surat KontraS dengan memberi informasi berapa banyak anggota POLRI yang dikerahkan dalam operasi Nemangkawi 8 Februari – 31 Agustus 2021. Dengan menggunakan kacamata ekonomi-politik, kajian cepat ini mencoba memperlihatkan bagaimana relasi antara konsesi perusahaan dengan militer di Papua. Pada publikasi awal, kajian ini mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya. Kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah Pegunungan Tengah Papua. Kabupaten ini mengalami beragam konflik kekerasan militer, mulai dari yang bermotif perburuan KKB, maupun pengamanan konsesi perusahaan tertentu. Dalam dua tahun terakhir, konflik bersenjata antara TNI/ POLRI dengan TPNPB telah mengakibatkan setidaknya 34 korban meninggal dan luka-luka. Memanasnya konflik ini juga mengakibatkan warga lokal trauma sehingga memilih pergi dan mengungsi ke lokasi yang dianggap lebih aman. Pengerahan aparat keamanan TNI/POLRI di Intan Jaya yang seharusnya membawa kedamaian, justru sebaliknya yakni menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan bagi masyarakat Intan Jaya. Kajian ini – dengan mengutip pernyataan Melianus Duwitau, Koordinator Tim Penolakan Penambangan Blok Wabu – menengarai bahwa teror ini sengaja diciptakan sebagai upaya pengusiran agar rencana perusahaan ekstraktif untuk menduduki wilayah itu dapat berjalan mulus.

Dengan dibantu kajian George Junus Aditjondro mengenai ekonomi-politik bisnis tentara di Tanah Papua, studi ini mengidentifikasi kemungkinan keterlibatan militer dalam bisnis tambang ekstraktif di Intan Jaya. Melalui analisis spasial, ditemukan empat perusahaan yang potensial diuntungkan oleh kehadiran pos keamanan TNI/POLRI di dekat konsesinya. Empat perusahaan tersebut ialah PT Freeport Indonesia dan/atau PT ANTAM, PT Madinah Qurrata ’Ain, PT Nusapati Satria, dan PT Kotabara Mitratama. Di balik jajaran penting pengurus di dua perusahaan, PT ANTAM dan PT Madinah Qurrata ’Ain, terdapat sejumlah nama purnawirawan dan prajurit aktif yang duduk sebagai komisaris atau menjadi salah satu pemegang saham. Beberapa purnawirawan teridentifikasi bahkan merupakan tim kampanye pemilihan presiden yang berkuasa saat ini, Joko Widodo. Dua perusahaan ini juga tercatat melakukan berbagai pelanggaran HAM dan lingkungan hidup yang merugikan masyarakat asli Papua. Karena itu, rencana penambangan Blok Wabu di Intan Jaya ditolak oleh berbagai kelompok masyarakat di Papua. Dengan melihat situasi tersebut, kajian cepat ini merekomendasikan agar pemerintah pusat menarik seluruh anggota keamanan TNI/POLRI yang diturunkan secara non-organik, menindak tegas aparat militer yang melakukan pelanggaran HAM, dan mencabut perizinan perusahaan yang tidak mendapat persetujuan dari masyarakat Papua. Pemerintah pusat dan daerah juga harus mengutamakan keselamatan dan kedamaian di Intan Jaya dengan mengupayakan pelayanan sosial yang baik dan, tentu saja, tidak selalu menggunakan pendekatan militer dalam setiap kebijakan.

Kesimpulan

Sejak awal, kajian cepat ini memang berangkat dari satu asumsi dasar yakni bahwa di balik rangkaian kekerasan militer selalu terselip kepentingan ekonomi. Meski demikian, asumsi dasar tersebut tidak datang dari imajinasi belaka, melainkan dari refleksi pengalaman serupa di beberapa tempat pada masa lalu. Misalnya, Otto Syamsuddin Ishak mencatat bahwa pada periode kekerasan Perang Aceh (1989-2003) banyak serdadu yang justru mendulang untung dari perdagangan ganja. Pada momen Konflik Ambon, PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) justru yang banyak mendapat untung dari perdagangan peluru. Dua hal tadi hanya sedikit contoh, selain itu masih banyak lagi. Kemudian, untuk mempermudah dan memperjelas ‘bisnis militer’ yang dimaksud, tiga kaki bisnis militer yang pernah diintrodusir George Junus Aditjondro dapat menjadi acuan. Kaki Pertama, bisnis institusional militer, dalam bentuk perusahaan di bawah payung aneka yayasan dan koperasi yang didirikan institusi militer atau polisi. Kaki Kedua, bisnis non-institusional militer, berupa perekrutan dan penempatan purnawirawan dan perwira aktif militer di berbagai perusahaan milik keluarga aparat atau konglomerat sipil. Kaki Ketiga, bisnis kelabu militer, cakupannya cukup luas yakni dari pemalakan, biaya proteksi dari perusahaan, perdagangan senjata ilegal, perdagangan narkoba, perdagangan pekerja seks, sampai perdagangan flora dan fauna langka. Ketiga kaki bisnis militer tersebut dapat saling terhubung, saling memengaruhi, dan terjadi bersamaan di satu wilayah atau perusahaan tertentu. Kajian cepat ini menguji asumsi dasar tersebut melalui tiga tahap berikut ini: 1. Mengidentifikasi pos-pos militer (TNI-POLRI) di Papua dan mengidentifikasi lahan konsesi perusahaan    di sekitar pos militer tersebut. 2. Melakukan penelusuran daring dari berbagai publikasi atau berita yang relevan. 3. Melakukan analisis berbasis data spasial lalu menarasikannya. Hasil narasi itulah yang kemudian akan membuktikan apakah asumsi dasar tersebut hanya sekadar asumsi atau malah menjadi fakta.

Kajian cepat ini bertujuan untuk menguji asumsi dasar apakah benar di balik setiap rangkaian kekerasan militer selalu terselip kepentingan ekonomi? Asumsi tersebut kemudian diuji dengan tiga cara yakni: 1. Mengidentifikasi penempatan militer di Papua berdasarkan keberadaan pos/kantor militer; 2. Mengidentifikasi sebaran konsesi di sekitar pos-pos militer tersebut; dan 3. Mencari keterhubungan antara keberadaan konsesi perusahaan dengan militer (TNI-POLRI) Indonesia. Lingkup spasial dalam kajian cepat kali ini ialah salah satu kabupaten yang terletak di Pegunungan Tengah, Kabupaten Intan Jaya. Beberapa tahun terakhir, eskalasi konflik yang melibatkan TNI dengan TPNPB di Intan Jaya memang meningkat. Merespon hal tersebut, Pemerintah Indonesia berencana akan menambah jumlah pasukan dan menggelar operasi militer. Pemerintah berdalih bahwa itu dilakukan guna mempertahankan NKRI dan menumpas kelompok kriminal bersenjata. Terkait penempatan militer, kajian cepat ini mencatat bahwa ada sejumlah 4 pos militer (TNI-POLRI) di Kabupaten Intan Jaya yakni Polsek Sugapa, Polres Intan Jaya, Kodim Persiapan Intan Jaya, dan Koramil Persiapan Hitadipa. Polres Intan Jaya baru berdiri pada 2019, sementara Koramil Persiapan Hitadipa pada 2020. Keberadaan pasukan militer di Intan Jaya ada di pos-pos militer tersebut. Selain prajurit organik di pos-pos militer tersebut, pada 2021 ada pula penambahan pasukan militer di Intan Jaya melalui Operasi Pengamanan Konflik Sosial (18 Februari – 31 Agustus 2021) sejumlah 100 anggota POLRI. Kajian cepat ini tidak dapat merinci berapa sebenarnya prajurit militer (TNI-POLRI) yang ada di pos-pos tersebut dan berapa prajurit tambahan yang dikirim ke Intan Jaya untuk berbagai tujuan. Faktor terbesarnya karena ketertutupan informasi resmi dari militer itu sendiri. Kajian cepat ini juga mengidentifikasi empat konsesi perusahaan yang terletak di kecamatan/distrik yang terdapat pos militer. Keempat perusahaan tersebut bergerak di sektor tambang yakni PT Freeport Indonesia dan/atau PT ANTAM; PT Madinah Qurrata ‘Ain; PT Nusapati Satria; dan PT Kotabara Mitratama. Selain berlokasi dekat dengan Jalan Trans-Papua, pos-pos militer di Intan Jaya juga berdekatan dengan keempat konsesi perusahaan tersebut. Dua perusahaan tambang tidak terindikasi memiliki hubungan dengan militer. Sementara dua perusahaan lainnya, PT Freeport Indonesia dan/atau PT ANTAM (Blok Wabu) dan PT Madinah Qurrata ‘Ain, teridentifikasi memiliki keterkaitan erat dengan militer. Di kedua perusahaan tersebut banyak ditemukan purnawirawan dan prajurit aktif (TNI-POLRI) yang duduk sebagai komisaris atau menjadi salah satu pemegang saham. Keberadaan para purnawirawan dan prajurit militer aktif di perusahaan merupakan bentuk kaki kedua bisnis militer. Keberadaan mereka potensial membuat aktivitas pengerukan sumber daya alam yang akan dan/ atau sudah dilakukan perusahaan menjadi lebih aman. Masyarakat sekitar konsesi perusahaan menjadi takut bersuara, karena acap berhadapan langsung dengan aparat militer sebagai penjaga perusahaan. Di samping itu, beberapa nama purnawirawan bahkan teridentifikasi pula merupakan anggota tim pemenangan presiden yang berkuasa saat ini, Joko Widodo. Relasi tersebut potensial membuat urusan perizinan perusahaan menjadi lebih mudah. Temuan adanya praktik bisnis militer kaki kedua di Intan Jaya menyingkap adanya potensi kepentingan ekonomi di balik serangkaian “operasi militer ilegal” di Intan Jaya. Kajian cepat ini menganggap semua operasi atau pengiriman pasukan sebagai tindakan ilegal karena sampai saat ini, presiden belum mengeluarkan Keputusan Presiden yang disetujui DPR RI sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI. Dalam konteks ini, ketiadaan instruksi resmi tersebut makin memperjelas indikasi bahwa pengiriman pasukan dan operasi militer di Intan Jaya memang tidak semata soal penumpasan kelompok bersenjata, namun justru soal kepentingan ekonomi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa di satu sisi ada kepentingan ekonomi perusahaan dan militer yang terselip dari serangkaian kekerasan di Intan Jaya. Di sisi lainnya, ada masyarakat sipil Papua yang menjadi korban berlipat-lipat: (1) mereka menjadi korban konflik bersenjata antara militer dengan TPNPB. Beberapa diantaranya sampai harus mengungsi, bahkan meregang nyawa; (2) mereka juga menjadi korban industri pertambangan ekstraktif yang mengeruk habis kekayaan alam di tanah tempat dia lahir. Karena itu, sekali lagi, apakah benar operasi militer (ilegal) ke Tanah Papua merupakan bagian dari upaya mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

Rekomendasi

Temuan dalam kajian cepat ini mengimplikasikan beberapa hal, antara lain: 1. Pemerintah pusat perlu menarik seluruh anggota keamanan TNI/POLRI yang diturunkan secara non organik di Tanah Papua. 2. Pemerintah perlu menindak tegas aparat militer yang melakukan pelanggaran HAM.  3. Pemerintah harus mencabut perizinan perusahaan yang tidak mendapat persetujuan dari masyarakat lokal. 4. Pemerintah pusat dan daerah harus mengutamakan keselamatan dan kedamaian di Intan Jaya dengan mengupayakan pelayanan sosial yang baik.  5. Pemerintah harus segera meninggalkan pendekatan militer dalam setiap kebijakan yang menyangkut Tanah Papua. 6. Pemerintah (dalam hal ini BUMN) harus menimbang ulang pilihan untuk menempatkan militer di kursi komisaris. Sebab, hal ini justru potensial memperparah praktik bisnis militer dan memperkeruh eskalasi konflik kekerasan yang sebenarnya berakar dari ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik di Tanah Papua. (NaSA)

  • Related Posts

    MSG SUMMIT Telah Usai Tanpa Komunike, Isu Papua Masih Menjadi Perhatian.

    Port Vila-Woflenews. Hingga pagi ini, 25 Agustus 2023, sepertinya Komunike MSG belum diketahui oleh seorang pun dari petinggi ULMWP yang menghadiri langsung KKT MSG yang dilaksanakan selama dua hari di…

    Read more

    Presiden GIDI: ULMWP sudah ada di Honai Melanesia.

    Port Vila-woflenews.com. Pada acara pembukaan Konfrensi Tingkat Tinggi – Melanesia Sperhead Group (KTT-MSG) yang dilakukan di Port Vila-Vanuatu. Presiden GIDI, Pdt Dorman Wandikbo yang mewakili Dewan Gereja Papua mengatakan bahwa ada…

    Read more

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *